Arahpublik.com - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023.
Dalam putusan itu, MK memperbolehkan lembaga pendidikan dijadikan sebagai tempat berkampanye.
Hal ini rupanya kurang disetujui oleh berbagai pihak, termasuk para guru.
Menurut Muhadjir Effendy, kondisi sekolah sangat berbeda dengan kondisi kampus. Kampus sebagai lembaga akademik dinilai mampu membuka ruang diskusi yang sehat dan terbuka.
Berbagai program dan gagasan dari masing-masing calon bisa diuji di wilayah ini untuk kepentingan bangsa dan negara.
Baca Juga: Prabowo Ganti KKIR Jadi Koalisi Indonesia Maju, Cak Imin: Saya Baru Tahu dan akan Lapor Partai
Selain itu, usia para mahasiswa juga sudah layak untuk memilih calon pemimpin negeri.
“Saya kira 100 persen dari mereka (mahasiswa) sudah memiliki hak pilih. Selama kampus dapat menjaga kondusivitasnya, saya kira itu memungkinkan,” kata Muhadjir saat menjadi narasumber pada segmen Apa Kabar Indonesia Malam, Minggu (27/8/2023).
Hal itu berbeda dengan kondisi di sekolah. Penyelenggaraan kampanye di sekolah akan menimbulkan permasalahan rumit.
Selain itu, permasalahan lainnya ialah pengelolaan sekolah yang menjadi wewenang konkuren dari pemerintah daerah.
Baca Juga: Breaking News: Kereta Api Tabrak Mobil di Perlintasan KA Tanpa Palang di Banyuwangi
“Ini akan rumit, kita tahu masing-masing kepala daerah memiliki corak warna bendera masing-masing, bisa dibayangkan akan serumit apa nanti pengaturan beserta pencegahan yang harus dilakukan. Belum lagi sekolah Madrasah dan Aliyah yang menjadi wewenang Kementerian Agama,” tutur Muhadjir.
Menko PMK menyebutkan, para siswa di level sekolah telah mengalami learning loss selama masa pandemi Covid-19 berlangsung.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, dalam kurun waktu dua tahun, para siswa telah mengalami kehilangan momentum belajar dan tidak mendapatkan pembelajaran yang utuh dari sekolah.