Kejanggalan
Dalam putusan MK nomor 90, terdapat banyak kejanggalan. Pertama, dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) dapat mendaftarkan diri sebagai Capres-Cawapres meski tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Melalui putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Padahal, dalam tiga putusan di hari yang sama, MK menolak seluruhnya tiga gugatan terkait perkara batas usia Capres dan Cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Baca Juga: Sesuai Instruksi Jusuf Kalla, PMI Gandeng Kemenlu RI Kirim Bantuan Medis untuk Warga Gaza
MK secara eksplisit, lugas, dan tegas, menyatakan, ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7 Nomor 2017 merupakan wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya
Kedua, terkait dengan legal standing pemohon dinilai lemah. Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Sehingga, hal itu dinilai tidak relevan diberikan kedudukan hukum/legal standing untuk bertindak sebagai pemohon.
Dalam permohonan ini, Almas Tsaqibbiru Re A tidak dirugikan konstitusionalnya secara pribadi.
Baca Juga: Palang Merah Indonesia dan Kemenlu RI Kirim Bantuan Rp2,9 Miliar untuk Warga Gaza
Dalam permohonannya, Almas sendiri mengaku sebagai pengagum Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka.
Kejanggalan ketiga, kemunculan Ketua MK, Anwar Usman dalam gugatan perkara no 90 dan no 91.
Awalnya, pada putusan perkara gugatan gelombang pertama Anwar Usman, yang juga adik ipar Presiden Jokowi, ini tidak ikut memutus perkara.
Ketidakhadiran dirinya berbuah putusan perkara ditolak dengan komposisi enam hakim menolak dan dua hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion.
Baca Juga: Buntut Terima Pendaftaran Prabowo-Gibran, KPU Digugat Rp70,5 Triliun
Namun, pada perkara nomor 90 dan 91, Anwar Usman tiba-tiba ikut membahas dan ikut memutus perkara tersebut.
Padahal, isu konstitusionalnya sama dengan perkara gelombang pertama. Kehadiran Anwar Usman tidak hanya menambah jumlah hakim pemutus perkara, tapi juga mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan sebagian permohonan.
Hasilnya, perkara nomor 90 dikabulkan sebagian.