Baca Juga: Terima Ucapan Selamat dari MBZ, Prabowo Sebut Sebuah Cerminan Hubungan Baik Antara Indonesia dan UEA
Pengaruh lain yang juga turut menyumbang angka kemenangan Prabowo-Gibran juga didapat dari persepsi positif masyarakat terhadap kinerja pemerintah serta situasi ekonomi yang dinilai baik.
Arya menuturkan masyarakat melihat itu dari alokasi anggaran program bantuan sosial yang meningkat. Berdasar catatan CSIS dalam survei pada Desember 2023 lalu, sebanyak 86,1 persen percaya pada Presiden.
"Kemenangan Prabowo-Gibran juga dapat dilihat dari perubahan strategi tim kampanye yang menyasar kampanye di platform TikTok serta keterlibatan influencer berpengaruh dalam tim kampanye nasional. Konten-konten Prabowo yang direproduksi di TikTok hampir selalu menjadi viral dan ditonton puluhan juta orang," tuturnya.
Kendati demikian, Arya menyebut potensi kemenangan Prabowo-Gibran sebetulnya telah terdeteksi sejak awal.
Baca Juga: Temui Meteri Olahraga Rusia, Menpora RI Serahkan Surat Titipan Prabowo untuk Presiden Putin
Apalagi bila merujuk pada hasil survei yang signifikasi sejak November 2023 lalu. Ia menuturkan peta elektoral yang dinamis jelang pemilu membuat tim dari paslon lain mesti berpikir strategis, bahkan menekankan narasi pemilu berjalan lebih dari putaran.
"Dengan gap suara yang tinggi, menjadi sangat sulit bagi Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Moh. Mahfud MD untuk mengejar suara Prabowo-Gibran yang terus meroket. Hal yang masih mungkin diusahakan saat itu adalah ‘memaksa’ pemilu presiden bisa berlangsung dua putaran," ucapnya.
CSIS, lanjut Arya, menganalisa bahwa dalam strategi memenangkan hati pemilih, paslon 01 dan 03 juga melancarkan gerakan yang relatif berbeda menjelang akhir masa kampanye.
"Untuk mempengaruhi sikap pemilih di akhir masa kampanye, Anies Baswedan memilih mengendurkan ‘serangan’nya pada debat pamungkas calon presiden. Sebaliknya, Ganjar justru semakin agresif menyerang," ujarnya.
Terakhir, Arya bersama CSIS mencatat bahwa Pemilu 2024 menggenapkan proses demokrasi yang telah dilakukan sejak reformasi 1998. Artinya, setelah periode tersebut, Indonesia telah melewati enam kali pemilu.
Ia melihat dengan segala kurang dan lebihnya, demokrasi masih menjadi pilihan terbaik bagi Indonesia dalam menghadapi masalah nasional dan internasional ke depan.
"Dalam setiap pemilu kita menyaksikan kekuasan itu naik dan turun. Perubahan-perubahan politik datang begitu cepat, sehingga kita tidak punya banyak waktu untuk beradaptasi. Demokrasi dengan segala catatannya, masih menjadi pilihan terbaik untuk kita sampai kapanpun," katanya.