Arahpublik.com - International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional menunda surat penangkapan Perdana Menteri (PM) Israel, Benjami Netanyahu, terkait dugaan kejahatan perang di Gaza.
Hal tersebut terjadi lantaran terdapat intervensi pemerintah Inggris di pengadilan pidana internasional itu.
Dikutip dari berbagai sumber, ICC memutuskan, Inggris diperbolehkan mengajukan argumen hukum agar hakim mempertimbangkan permintaan jaksa Karim Khan pada bulan Mei atas pembuatan surat perintah penangkapan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant, Kamis (27/6/24) kemarin.
Pada dokumen argumen hukum Inggris tersebut, Inggris berpendapat, hakim yang mengadili kasus tersebut harus menjawab pertanyaan-pertanyaan “luar biasa” tentang yurisdiksi ICC atas warga negara Israel sebelum memutuskan apakah akan mengeluarkan surat perintah penangkapan.
Baca Juga: Italia Gagal Lolos ke Perempat Final, Swiss Unggul 2-0 di Babak 16 Besar EURO 2024
Diketahui, ICC memiliki yurisdiksi di wilayah pendudukan Palestina sejak Februari 2021 lalu.
Keputusan tersebut membuka jalan bagi kepala jaksa ICC sebelumnya untuk melakukan penyelidikan kriminal atas dugaan kekejaman di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Namun, di ruang pra-sidang ICC, pemerintah Inggris mengatakan, keputusan tahun 2021 tersebut tidak menentukan masalah yurisdiksi yang berkaitan dengan perjanjian Oslo.
Perjanjian Oslo sendiri merupakan perjanjian perdamaian sementara yang ditandatangani antara Organisasi Pembebasan Palestina dan Israel pada tahun 1990-an.
Baca Juga: Ronaldo Beri Dampak Luar Biasa di Lapangan, Pepe: Cristiano Hidup Dari Gol, Itu Faktanya
Pemerintah Inggris berargumen, Palestina tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidana terhadap warga negara Israel sesuai dengan perjanjian Oslo.
Argumen hukum Inggris ini sontak menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa pakar hukum internasional.
“Sangat meresahkan dan tidak adil,” kata Danya Chaikel, perwakilan Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di ICC atas upaya Inggris untuk menantang yurisdiksi ICC dengan alasan perjanjian Oslo.