Dikutip dari The Private Therapy Clinic, cancel culture pada dasarnya evolusi dari istilah boikot.
Baca Juga: Timnas Indonesia vs Laos di Piala AFF 2024: Hujan Gol hingga Kontroversi di Stadion Manahan Solo
Sebagian besar tokoh yang dapat dihakimi oleh publik atas tindakan tidak etisnya, adalah selebriti, pejabat negara, maupun pengusaha terkemuka.
Bagi tokoh yang masuk ranah itu dan tidak ingin kariernya terancam, perlu mewaspadai hal-hal yang menyinggung, menyerang, bermakna rasisme saat berada di hadapan publik.
Sebab, cancel culture dapat membuat nama baik tokoh menjadi buruk dan secara otomatis akan terasingkan saat berada di tengah masyarakat.
Baca Juga: STY Soroti Faktor Timnas Indonesia Tak Mampu Kalahkan Laos di Piala AFF 2024 Meski Jadi Tuan Rumah
Apa Alasan Adanya Budaya Pembatalan?
Umumnya, publik akan menjadikan budaya pembatalan sebagai dasar dari sanksi sosial.
Selain itu, cancel culture juga dapat membuat tokoh atau publik figur kembali mempertimbangkan konsekuensi dari pernyataan atau tindakan mereka.
Cancel culture juga dianggap sebagai upaya untuk mengungkap tindakan rasisme dan seksisme pada sebuah skandal.
Baca Juga: Di HUT ke-60 Golkar, Prabowo: Saya Nyaman Ada Mbak Puan di Sini, Saya Menghargai PDIP
Lebih lanjut, sebenarnya fenomena ini terjadi sebagai bentuk penghakiman publik untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atas pernyataan atau perilakunya.
Bagaimana Fenomena Ini Berkembang?
Dikutip dari Pew Research Center, 22 persen dari warga Amerika Serikat (AS) menggaungkan cancel culture sebagai bentuk budaya pembatalan karier seorang tokoh publik, yang mulai berkembang pada tahun 2020 lalu.